Tuesday, December 27, 2016

Tulis cerita untukku

Seluas apa hati ini?
Hingga bertubi-tubi kuterima kepahitan
Dan aku masih bertahan
Kulewati lembaran kisah
Menghenyakkan, mencabik, meruntuhkan
Dan masih kubalik halamannya

Masih ada lagi lembaran berikutnya
Bukan sebuah ending,
Nyatanya cukup untuk diangkat menjadi sebuah kisah, lagi
Dan masih memeras butiran air mata
Penuh perjuangan

Mengapa harus aku lewati liku ini
Padahal aku tidak ingin sebuah epic
Cukup roman picisan
Sederhana, biasa
layaknya yang dialami mereka kebanyakan
Namun aku harus tetap membaca ceritaku
Yang berarti aku harus menyiapkan hati demi setiap lembarnya
Bagaimanakah akhirnya
Aku tidak tahu
Semoga saja Sang Penulis punya kejutan yang melegakan di halaman berikutnya
Happy Ending!

Wednesday, September 28, 2016

aku ingin menulis
tapi tidak di sini

aku ingin menulis di kertas
dan kugoreskan ujung penaku di atasnya
tidak menekan tuts yang mengurangi rasa

aku ingin menulis ketika malam
saat mata-mata terpejam
hanya mimpi yang masih terjaga

aku ingin menulis
tanpa cericit dan lalu lalang manusia
 
hanya aku dengan kesendirianku
tanpa mu, nya atau mereka

lalu setelah bulan bertengger di ujung dunia
aku melangkah untuk menatapnya
menyeret tapakku hingga ke danau
kubawa amunisi kertas dan pena

kugiring anganku
meluap diantara letupan imaji
inilah saatnya!!!

tapi aku tak tahu harus menulis apa....

Sunday, June 26, 2016

Rencana Tuhan selalu lebih sempurna. 
Dia kirimkan seseorang untukku, agar aku menjadi bagian rusuknya. 
Seseorang yang hadir begitu saja, tanpa pernah kusangka. 
Seseorang yang menyapa kehidupanku, tanpa ingin ku tahu namanya. 
Lalu aku di sini, memutar kembali ingatan itu. 
Bagaimana semenit perjumpaan mengandung berjuta makna. 
Bagaimana sebuah uluran tangan mengawali semua. 
Lalu waktu berlari cepat, meninggalkan cerita begitu saja. 


Hingga di sanalah aku dan dirinya berada, mengukir ikatan di sebuah sasana. 

Lalu kami mulia bercerita. 
Masih dia yang memulai cerita. 
Masih dia yang menuliskan kata. 
Tanpa aku yang mendengarnya bercerita, tanpa aku yang membaca kata-katanya. 
Dan kami masih bercerita. 
Masih di halaman yang sama dan masih dirinya yang menuang tinta. 
Lalu dia bercerita tentang kasih, tentang cinta. Seadanya. 
Lalu dia ceritakan pula tentang hidup, tentang perjuangan. Seperlunya. 
Lalu dia dongengkan arti memiliki dan kemudian melepaskan. 
Arti sebuah tangisan dan kebahagiaan. 
Dan dia masih saja bercerita, tanpa memintaku menoleh padanya. 


Lalu kutemukan tidak hanya kita. 

Ada mereka, mereka yang melengkapi keberadaan kita. 
Dan dia masih saja bercerita tentang kesabaran, tanggung jawab, dan lagi-lagi kasih sayang. 
Dia bercerita tentang pengajaran, tanpa menggurui. 
Dia bercerita tentang cita-cita, tanpa harus bermimpi. 
Dia tawarkan semua, tanpa meminta kembali. 
Lalu aku terpaku di sini. 
Menilik kembali semua ceritanya. 
Dia benar-benar telah memelukku. 
Mendekapku. 
Merangkulku.
Dengan caranya yang sederhana.
RencanaMu selalu sempurna. 








Thursday, March 31, 2016

Aku Menulis Maka Aku Ada

Seorang filsuf Perancis, Rene Descartes pernah mengungkapkan sebuah adagium yang sangat populer. Cogito ergo sum, begitulah ungkapan itu dikenal. Cogito ergo sum mempunyai arti "aku berpikir maka aku ada". Adagium ini muncul dari  keraguan Descartes tentang semua hal, tentang keberadaan benda-benda disekelilingnya bahkan keberadaan dirinya sendiri. Hingga, sampailah Descartes pada sebuah jawaban, bahwa melalui keraguan pada hal-hal disekelilingnya, melalui pertaanyaan-pertanyaan tentang eksistensinya, membawa dirinya untuk berpikir, dan dalam proses berpikir itulah dia menemukan dirinya. Maka, jawaban atas kesangsiannya terhadap segala sesuatu, adalah keberadaan dirinya. Begitulah cogito ergo sum, yang bermula dari keraguan akan sebuah eksitensi.

Alam pikiran  sangat berpengaruh terhadap eksistensi kita. Bergejolaknya alam pikiran, ide-ide yang ada di dalamnya, bahkan opini-opini subjektif merupakan bukti bahwa kita ada. Namun, menggejolaknya alam pikiran kita, akan tetap menjadi magma bila kita membiarkan alam pikiran tetap di dalam alamnya. Berbeda bila luberan magma itu kita tuangkan, kita alirkan, sehingga tempat-tempat tertentu akan merasakana percikannya. Dan, suatu ketika tidak menutup kemungkinan tempat itu akan merasakan manfaat darinya. Seperti magma yang akan menyuburkan suatu daerah yang dilewatiya. Dengan begitu pulalah, sebuah daerah akan mengenal adanya luberan magma yang keluar. mengenal dari mana magma itu berasal, mengenal bagaimana magma itu bisa mengalir. Dengan cara itulah, akhirnya magma itu dikenal, dengan cara itulah magma itu "ada".

Luberan alam pikiran itulah yang akan diwujudkan disini. Agar alam pikirin, tidak hanya berada pada alamnya. Agar alam pikiran meluber, mengenai sekitarnya. Sehingga penegasan akan keberadaan diri, tidak hanya terbatas pada cogito ergo sum, aku berpikir maka aku ada, tapi akan meluber menjadi aku menulis maka aku ada.

Tulisan ini adalah awal, yang kata Quraish Shihab dalam pengantar buku Logika Agamanya, adalah batu pertama. Ibarat, membangun tembok, akan ada batu-batu selanjutnya yang disusun hingga tinggi. Harapannya, akan ada banyak tulisan-tulisan lagi selanjutnya. Aku menulis, maka aku ada!